BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik merupakan gejala sosial yang
serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren, artinya
konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, di mana saja dan
kapan saja. Di dalam dunia pendidikan sekolahpun permasalahan seperti konflik
juga sering terjadi dikarenakan adanya perbedaan status sosial yang dibawa dari
kebudayaannya. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan
gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang
mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan
kepentingan sosial. Di dalam setiap kehidupan soial tidak ada satu pun manusia
yang memiliki kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan,
kemauan, kehendak, tujuan,
dan sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa di
antaranya ada yang dapat, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga
menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan di dalam lembaga dapat terjadi
karena di dalam hubungan sosialnya tidak selamanya berjalan mulus karena setiap
individu memiliki kecenderungan kepribadian masing-masing dari latar
belakangnya.[1]
Kekerasan merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga
menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang terkecil hingga peperangan.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas
mengenai konflik di dalam suatu lembaga terutama pokok pembahasan kali ini
yaitu pada bidang pendidikan yang memfokuskan konflik sosial di sekolah, maka
perlu adanya pendukung-pendukung seperti landasan teori tentang konflik itu
sendiri, maka dalam bab yang akan pemakalah sajikan yaitu konflik sosial di
sekolah yang dilandasi oleh beberapa teori konflik.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dari konflik?
2. Bagaimana
teori konflik sosial menurut para ahli?
3. Apa
yang menyebabkan terjadinya konflik sosial?
4. Bagaimana
hubungan pendidikan dan konflik sosial di sekolah?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian konflik
2. Untuk
mengetahui teori konflik sosial menurut para ahli
3. Untuk
mengetahui penyebab terjadinya konflik sosial
4. Untuk
mengetahui hubungan pendidikan dan konflik sosial di sekolah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Konflik
Sebelum mengetahui beberapa dari macam-macam
teori konflik, maka alangkah baiknya terlebih dahulu diberi pengantar tentang
pengertian konflik itu sendiri. “Konflik” secara etimologis berasal dari bahasa
latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti
benturan atau tabrakan. Dengan demikian, “konflik” dalam kehidupan sosial
berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling
tidak melibatkan dua pihak atau lebih. William Chang mempertanyakan “benarkah
konflik sosial hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati,
kebencian, masalah perut, masalah tanah, tempat tinggal, pekerjaan, uang, dan
kekuasaan?”, ternyata jawabannya tidak; dan ditanyakan oleh Cang bahwa emosi
manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Dari pemaparan di atas secara sederhana
konflik dapat diartikan sebagai perselisihan atau persengketaan antara dua atau
lebih kekuatan baik secara individu atau kelompok yang kedua belah pihak
memiliki keinginan untuk saling menjatuhkan, menyingkirkan, mengalahkan atau menyisihkan.[2]
Teori konflik adalah salah satu
perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem
yang terdiri dari berbagai bagian atau komponen yang mempunyai
kepentingan berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha menaklukkan
kepentingan yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh keuntungan
yang sebesar-besarnya.[3]
B. Teori
Konflik Menurut Para Ahli
1. Teori
Konflik Mark
Teori ini muncul sebagai pengritik dari
teori struktural fungsional. Struktural fungsional lebih memandang masyarakat
dari sisi keseimbangannya. Padahal masyarakat penuh dengan ketegangan dan
selalu berpotensi melakukan konflik.[4]
Mark mempunyai beberapa pandangan
tentang kehidupan sosial yaitu:[5]
a. Masyarakat
sebagai arena yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk pertentangan.
b. Paksaan
(coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama untuk memelihara
lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi (property), perbudakan (slavery),
kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak dan kesamaan. Kesenjangan sosial
terjadi dalam masyarakat karena berkerjanya lembaga paksaan tersebut yang
bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan, dan penindasan. Dengan demikian,
titik tumpu dari konflik sosial adalah kesenjangan sosial.
c. Bagi
Mark, konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk
memperebutkan asset-aset yang bernilai. Jenis dari konflik antara individu,
konflik antara kelompok, dan bahkan konflik antar bangsa. Tetapi bentuk konflik
yang paling menonjol menurut Marx adalah konflik yang disebabkan oleh cara
produksi barang barang yang material.
d. Karl
Mark memandang masyarakat terdiri dari dua kelas yang didasarkan pada
kepemilikan sarana dan alat produksi yaitu kelas borjuis dan proletar.
e. Kelas
borjuis adalah kelompok yang memiliki sarana dan alat produksi yang dalam hal
ini adalah perusahaan sebagai modal dalam usaha.
f. Kelas
proletar adalah kelas yang tidak memiliki sarana dan alat produksi sehingga
dalam pemenuhan akan kebutuhan ekonominya tidak lain hanyalah menjual
tenaganya.
2. Teori
Konflik Ralf Dahrendof
Ralf Dahrendof menyatakan bahwa
masyarakat terbagi dalam dua kelas atas dasar pemilikan kewenangan (authority),
yaitu kelas yang memiliki kewenangan (dominan) dan kelas yang tidak memiliki
kewenangan (subjeksi).
Secara garis besar pokok-pokok teori ini adalah:[6]
a. Setiap
kehidupan sosial berada dalam proses perubahan, sehingga perubahan merupakan
gejala yang bersifat permanen yang mengisi setiap perubahan kehidupan sosial. Gejala perubahan
kebanyakan sering diikuti oleh konflik baik secara personal maupun secara
interpersonal.
b. Setiap
kehidupan sosial selalu terdapat konflik didalam dirinya sendiri, oleh sebab
itu konflik merupakan gejala yang permanen yang mengisi setiap kehidupan
sosial. Gejala konflik akan berjalan seiring dengan kehidupan sosial itu
sendiri, sehingga lenyapnya kehidupan sosial.
c. Setiap
elemen dalam kehidupan sosial memberikan andil bagi pertumbuhan dua variabel
yang saling berpengaruh. Elemen-elemen tersebut akan selalu dihadapkan pada
persamaan dan perbedaan, sehingga persamaan akan mengantarkan pada akomodasi
sedangkan perbedaan akan mengantarkan timbulnya konflik.
d. Setiap
kehidupan sosial, masyarakat akan terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi
sejumlah kekuataan-kekuataan lain. Dominasi kekuatan secara sepihak akan
menimbulkan konsiliasi, akan tetapi mengandung simpanan benih-benih konflik
yang bersifat laten, yang sewaktu-waktu akan meledak menjadi konflik terbuka.
3. Teori
Konflik Jonathan Turner
Turner memusatkan perhatiannya
pada konflik sebagai suatu proses dari pristiwa-pristiwa yang mengarah kepada
interaksi yang disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih. Dia menjelaskan
Sembilan tahapa menuju konflik terbuka. Adapun Sembilan tahap itu adalah
sebagai berikut;[7]
a. Sistem
sosial terdiri dari unit-unit atau kelompok-kelompok yang saling berhubungan
satu sama lain.
b. Didalam
unit-unit atau kelompok-kelompok itu terdapat ketidakseimbangan pembagian
kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan.
c. Unit-unit
atau kelompok-kelompok yang tidak berkuasa atau tidak mendapat bagian dari sumber-sumber
penghasilan mulai mempertanyakan legimitasi sistem tersebut.
d. Pertanyaan
atas legimitasi itu membawa mereka kepada kesadaran bahwa mereka harus mengubah
sistem alokasi kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan itu demi kepentingan
mereka.
e. Kesadaran
itu menyebabkan mereka secra emosional terpancing untuk marah.
f. Kemarahan
tersebuut seringkali meledak begitu saja atas cara yang tidak terorganisir.
g. Keadaan
yang demikian menyebabkan mereka semakin tegang.
h. Ketegangan
yang semakin hebat menyebabkan mereka mencari jalan untuk mengorganisir diri
guna melawan kelompok yang berkuasa.
i. Akhirnya
konflik terbuka bisa terjadi antara kelompok yang berkuasa dan tidak berkuasa.
Tingkatan kekerasan dalam konflik sangat tergantung kepada kemampuan
masing-masing pihak yang bertikai untuk mendefinisikan kembali kepentingan
mereka secara obyektif atau kemampuan masing-masing pihak untuk menanggapi,
mengatur, dan mengontrol konflik itu.
4. Teori
Konflik Lewis Coser
Teori konflik yang dikemukakan oleh
Lewis Coser sering kali disebut teori fungsionalisme konflik karena ia
menekankan fungsi konflik bagi sistem sosial atau masyarakat. Coser mulai
dengan mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap status
yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir
atau dilangsungkan, atau dieliminir saingan-saingannya. Meskipun definisi
tersebut mefokuskan pada adanya pertentangan, perjuangan memperoleh sumber yang
langka, yakni dimana setiap orang berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang
lebih dari orang lain, namun didalam menafsirkannya Coser menyatakan bahwa
konflik itu bersifat fungsional (baik) dan bersifat disfungsional (buruk) bagi
hubungan-hubungan dan struktur-struktur yang tidak terangkum dalam sistem
sosial sebagai suatu keseluruhan. [8]
Salah satu hal yang membedakan Coser dari pendukung teori konflik lainnya ialah
bahwa ia menekankan pentingnya konflik untuk mempertahankan keutuhan kelompok.
Lewis Coser menyebutkan beberapa fungsi dari konflik yaitu;[9]
a. Koflik
dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak longgar. Dalam masyarakat yang
terancam disintegrasi, konflik dengan masyarakat lain bisa menjadi kekuatan
yang mempersatukan.
b. Keompok
dengan kelompok lain dapat menghasilkan solidaritas didalam kelompok tersebut
dan solidaritas itu bisa menghantarkannya kepada aliansi-aliansi dengan
kelompok-kelompok lain.
c. Konflik
juga bisa menyebabkan anggota-anggota masyarakat yang terisolir menjadi
berperan secara aktif.
d. Teori
Konflik C. Wright Mills
Teori konflik C. Wright Mills. Mills
adalah salah satu sosiolog Amerika yang berusaha menggabunkan perspektif
konflik dengan kritik terhadap keteraturan sosial.[10]
Jadi dari beberapa teori konflik di
atas dapat di ambil kesimpulannya, teori konflik yaitu elemen-elemen yang
mempunyai kepentingan yang berbeda-beda sehingga mereka berjuang untuk saling
mengalahkan satu sama lain guna meperoleh kepentingan yang sebesar-besarnya.
Menurut karl Marx konflik merupakan salah satu kenyataan sosial yang bisa di
temukan diman-mana, sedangkan menurut Ralf Dahendorf masyarakat mempunyai dua
wajah yakni konflik dan konsensus, kemudian menurut Jonathan Turner konflik
sebagai suatu proses dari peristiwa-peristiwa yang mengarah pada interaksi yang
disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih, lalu menurut Lewis Coser Ia
memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi dari konflik, dan yang terakhir
menurut C. Wright Mills Ia menggabungkan perspektif konflik dengan kritik
terhadap keteraturan sosial.
C. Penyebab Terjadinya
Konflik
Pada dasarnya, secara garis besar
penyebab konflik dibagi menjadi dua, yaitu;[11]
1. Kemajemukan
horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang majemuk secara
kultural, seperti suku bangsa, agama, ras, dan majemuk secara sosial dalam arti
perbedaan pekerjaan dan profesi, seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha,
pegawai negeri, militer, wartawan, alim ulama, sopir, cendekiawan, dan
lain-lain. Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang
masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan
masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik
budayanya tersebut.
2. Kemajemukan
vertital, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi bedasarkan
kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan konflik sosial
karena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayan, pendidikan yang
mapan kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara sebagian besar tidak atau
kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan
kewenangan.
Kemudian secara terperinci penyebab
terjadinya konflik dapat diperjelas diantaranya:[12]
1. Perbedaan
anatar individu, diantaranya perbedaan pendapat, tujuan, keinginan, pendirian
tentang objek yang dipertentangkan. Di dalam realitas sosial tidak ada satupun
individu yang memiliki karakter yang sama sehingga perbedaan karakter
tersebutlah yang mempengaruhi timbulnya konflik sosial.
2. Benturan
antar kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik.
3. Perubahan
sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya menimbulkan kerawanan konflik.
Konflik dipicu oleh keadaan perubahan yang terlalu mendanak biasanya diwarnai
oleh gejala dimana tatanan prilaku lama sudah tidak digunakan lagi sebagai
pedoman, sedangkan tatanan perilaku yang baru masih simpang siur sehingga
banyak orang kehilangan arah dan pedoman perilaku.
4. Perbedaan
kebudayaan yang mengakibatkan adanya perasaan in group dan out group yang
biasanya diikuti oleh sikap etnosentrisme kelompok, yaitu sikap yang
ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah paling baik, ideal,
beradab diantara kelompok lain. Jika masing-masing kelompok yang ada didalam
kehidupan sosial sama-sama memiliki sikap demikian, maka sikap ini akan memicu
timbulnya konflik antar penganut kebudayaan.
Dalam bukunya Husaini Usman,
menyebutkan penyebab munculnya konflik diantaranya; [13]
1. Konflik
diri sendiri dengan seseorang dapat terjadi karena perbedaan peranan,
pkepribadian, dan kebutuhan.
2. Koflik
diri sendiri dengan kelompok dapat terjadi karena individu tersebut mendapat
tekanan, atau individu bersangkutan telah melanggar norma-norma kelompok
sehingga dimusuhi atau dikucilkan oleh kelompoknya.
3. Konflik
dapat terjadi karena adanya suantu ambisi salah satu kelompok untuk berkuasa,
ada kelompok yang menindas, ada kelompok yang melanggar norma-norma budaya
kelompok lainnya, ketidakadilan kelomok lainnya, dan keserakahan kelompok
lainnya.
D. Hubungan Pendidikan
dan Konflik Sosial di Sekolah
Untuk mengetahui hubungan atau keterkaitan
antara pendidikan dan konflik sosial di sekolah perlu mengetahui unsur-unsur
yang ada didalamnya dan didukung sebuah teori agar dapat dijadikan
landasan dalam proses menghubungkan antar unsur-unsur tersebut. Dalam
pembahasan sebelumnya telah dipaparkan sebuah teori konflik menurut beberapa
para ahli, maka dalam pembahasan selanjutnya akan di paparkan tentang
pengertian pendidikan itu sendiri dan makna dari sekolah dan dari hasil
pengertian masing-masing tersebut akan diperoleh suatu titik hubungan antara
pendidikan dan konflik sosial di sekolah.
1. Pengertian
pendidikan menurut para ahli;
a. Pengertian
pendidikan menurut M.J. Langeveld pendidikan adalah setiap pergaulan yang
terjadi adalah setiap pergaulan yang terjadi antara orang dewasa dengan
anak-anak merupakan lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu
berlangsung.
b. Pengertian
pendidikan menurut Prof. Dr. John Dewey pendidikan adalah suatu proses
pengalaman. Karena kehidupan adalah pertumbuhan, pendidikan berarti membantu
pertumbuhan batin tanpa dibatasi oleh usia. Proses pertumbuhan ialah proses
menyesuaikan pada tiap-tiap fase serta menambahkan kecakapan di dalam
perkembangan seseorang.
c. Pengertian
pendidikan menurut Prof. H. Mahmud Yunus pendidikan adalah usaha-usaha yang
sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak dengan tujuan peningkatan
keilmuan, jasmani dan akhlak sehingga secara bertahap dapat mengantarkan si
anak kepada tujuannya yang paling tinggi. Agar si anak hidup bahagia, serta
seluruh apa yang dilakukanya menjadi bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
Pengertian pendidikan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia; Pendidikan diartikan sebagai proses pembelajaran bagi
individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai
obyek-obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan tersebut diperoleh secara formal
yang berakibat individu mempunyai pola pikir dan perilaku sesuai dengan
pendidikan yang telah diperolehnya.
Pengertian pendidikan dalam
UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
2. Pengertian
sekolah
Pengertian sekolah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sekolah
merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar, serta tempat
menerima dan memberi pelajaran.
Sebagaimana yang telah kita ketahui
bahwa sekolah merupakan salah satu tempat bagi para siswa untuk menuntut ilmu.
Dan melihat kenyatannya hingga sekarang sekolah masih dipercaya oleh sebagian
besar anggota masyarakat sebagai salah satu tempat untuk belajar, berlatih
kecakapan, menyerap pendidikan atau tempat proses mendewasakan anak.
Sekolah merupakan bangunan atau lembaga
untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Sekolah
dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah. Kepala Sekolah dibantu oleh wakil kepala
sekolah. Jumlah wakil kepala sekolah di setiap sekolah berbeda, tergantung
dengan kebutuhannya. Bangunan sekolah disusun meninggi untuk memanfaatkan tanah
yang tersedia dan dapat diisi dengan fasilitas lain.
3. Akibat
konflik sosial
Ada banyak akibat konflik, akan tetapi
para sosiolog sepakat menyimpulkan akibat dari konflik tersebut ke dalam lima
poin berikut ini:[14]
a. Bertambah
kuatnya ras solidaritas kelompok. Solidaritas kelompok akan muncul ketika
konflik tersebut melibatkan pihak-pihak lain yang memicu timbulnya antagonisme
(pertentangan) di antara pihak yang bertikai.
b. Hancurnya
kesatuan kelompok. Jika konflik yang tidak berhasil diselesikan menibulkan
kekerasan atau perang, maka sudah barang tentu kesatuan kelompok tersebut akan
mengalami kehancuran.
c. Adanya
perubahan kepribadian individu. Artinya, di dalam suatu kelompok yang mengalami
konflik, maka seseorang atau sekelompok orang yang semula memiliki kepribadian
pendiam, penyabar menjadi beringas, agresif, dan mudah marah, lebih-lebih
jika konflik tersebut berujung pada kekerasan, atau perang.
d. Hancurnya
nilai-nilai dan norma sosial yang ada. Artinya nilai-nilai dan norma sosial
dengan konflik terdapat hubungan yang bersifat korelasional, artinya bisa saja
terjadi konflik berdampak pada hancurnya nilai-nilai dan norma sosial akaibat
dari ketidakpatuhan anggota masyarakat akibat dari konflik, atau bisa juga
hancurnya nilai-nilai dan norma sosial berakibat konflik.
e. Hilangnya
harta benda (material) dan manusia. Jika konflik tidak terselesaikan hingga
terjadi tindakan kekerasan atau perang, maka pasti akan berdampak pada
hilangnya material dan korban manusia.
4. Hasil-hasil
konflik sosial
Dari cara menghadapi dan
menelesaikannya maka hasil konflik sosial dapat di klasifikasikan sebagai
berikut:[15]
a. Konflik
kalah vrsus kalah. Dalam sebuah konflik pasti terdapat pihak-pihak yang saling
berselisih dan melakukan aksi saling mengalahkan, menyingkirkan, atau
melenyapkan. Dalam hal ini masing-masing pihak saling kalah, jadi berakhir
saling kalahnya kedua pihak.
b. Konflik
kalah versus menang. Konflik akan berakhir dalam bentuk kalah versus menang
apabila salah satu pihak yang bertikai mencapai keinginannya dengan megorbankan
keinginan pihak lain.
c. Konflik
menang versus menang. Konflik akan berakhir menang versus menang jika
pihak-pihak yang berkaitan bersedia satu sama lain untuk mencapai kesepakatan
baru yang saling menguntungkan. Gejala ini merupakan cara atau pendekatan
terbaik dalam manajemen konflik.
BAB III
KESIMPULAN
Pendidikan diartikan
sebagai usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan itu sendiri terdapat tiga bentuk, yaitu
pendidikan formal (sekolah umum), pendidikan in formal (keluarga), dan
pendidikan non formal (masyarakat). Kesimpulan kali ini akan di fokuskan pada
pendidikan formal yaitu sekolah. Sekolah merupakan bangunan atau lembaga untuk
belajar dan mengajar, serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Tentu dalam
setiap kegiatan yang berjalan di dalam sekolahan pasti terdapat orang-orang
yang saling berinteraksi antara kepala sekolah dan gura, guru dan murid, atau
murid dan murid yang setiap individunya mempunyai karakter-karakter tersendiri
yang dibawa dari kehudupan sosial budaya maupun faktor lain yang
mempengaruhinya.
Di dalam kegiatan di sekolah terdapat
suatu tatanan struktur organisasi yang di rancang untuk jenis-jenis kegiatan di
sekolah itu sendiri. Misalnya terdapat kepala sekolah, wakil kepala sekolah,
sekertaris bendahara, dan lain-lain. Hal ini pun juga terdapat sampai tiap-tiap
kelas dari dasar sampai atas yang terdapat dalam sekolah itu sendiri, misalnya
di SD ada kelas 1 (satu) sampai enam (6). Hal di dalam inilah terdapat
masing-masing individu yang mempunyai kepentingan, keinginan, pendapat, dan
lain-lain yang berbeda-beda paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih
sehingga muncullah konflik. Konflik inilah bisa dinilai dari segi positif
maupun negatif. Dari segi positif yaitu sebagai alat untuk memelihara
solidaritas, mengaktifkan peran individu, dan sebagai komunikasi yang baik.
Dari sisi negatifnya yaitu hancurnya kesatuan kelompok, perubahan individu yang
memburuk, dan hancurnya nilai-nilai dan norma sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Bernard Raho. 2007. Teori sosiologi
modern. Kota: Prestasi Pustaka.
Damsar. 2011. Sosiologi Pendidikan.
Jakarta: Kencana.
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar
Sosiologi. Jakarta: Kencana.
Husaini Usman. 2006. Manajemen
Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Irving M. Zeitlin. 1998. Memahami
Kembali Sosiologi. Yogyakarta: UGM Pres.
Muhammad
Rifa’i. 2011. Sosiologi Pendidikan.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Zainudin
Maliki. 2008. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: UGM Press.
[13] Husaini Usman, Manajemen
Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal.
389.
Labels:
MATERI UMUM
Thanks for reading PENDIDIKAN DAN KONFLIK SOSIAL DI SEKOLAH (Ditinjau dari Perspektif Teori Konflik). Please share...!
1 Comment for "PENDIDIKAN DAN KONFLIK SOSIAL DI SEKOLAH (Ditinjau dari Perspektif Teori Konflik)"
Makasih banyak atas ilmunya moga bermanfaat