Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana
manusia belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang
kompleks dari belajar. Ada tiga perspektif utama dalam teori belajar, yaitu
Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme. Pada dasarnya teori pertama
dilengkapi oleh teori kedua dan seterusnya, sehingga ada varian, gagasan utama,
ataupun tokoh yang tidak dapat dimasukkan dengan jelas termasuk yang mana, atau
bahkan menjadi teori tersendiri. Namun hal ini tidak perlu kita perdebatkan.
Yang lebih penting untuk kita pahami adalah teori mana yang baik untuk
diterapkan pada kawasan tertentu, dan teori mana yang sesuai untuk kawasan
lainnya. Pemahaman semacam ini penting untuk dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran.
1. Behaviorisme
Behaviorisme dari kata behave yang
berarti berperilaku dan isme berarti aliran. Behavorisme merupakan pendekatan
dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi (gagasan awal) bahwa perilaku
dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam melakukan penelitian,
behavioris tidak mempelajari keadaan mental. Jadi, karakteristik esensial dari
pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah pemahaman terhadap
kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku seseorang, bukan
pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain dalam diri orang tersebut.
Fokus behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe stimulus. Para tokoh
yang memberikan pengaruh kuat pada aliran ini adalah Ivan Pavlov dengan
teorinya yang disebut classical conditioning, John B. Watson yang
dijuluki behavioris S-R (Stimulus-Respons), Edward Thorndike (dengan teorinya Law
of Efect), dan B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut operant
conditioning
1. Teori
Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov
Ivan
Petrovich Pavlov adalah orang Rusia. Ia menemukan Classical
Conditioning di dekade 1890-an. Teorinya disebut klasik
karena kemudian muncul teori conditioning yang lebih baru. Ada
pula yang menyebut teorinya sebagai learned reflexes atau
refleks karena latihan, untuk membedakan teorinya dengan teori pengkondisian
disadari-nya Skinner.
a. Percobaan Pavlov
Pengkondisian Klasik atau Classical conditioning ditemukan
secara kebetulan oleh Pavlov di dekade 1890-an. Saat itu Pavlov sedang
mempelajari bagaimana air liur membantu proses pencernaan makanan. Kegiatannya
antara lain memberi makan anjing dan mengukur volume produksi air liur anjing
tersebut di waktu makan. Setelah anjing tersebut melalui prosedur yang sama
beberapa kali, ternyata mulai mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan.
Pavlov menyimpulkan bahwa beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang
serba putih, telah diasosiasikan oleh anjing tersebut dengan makanan sehingga
menimbulkan respons keluarnya air liur. Proses conditioning biasanya mengikuti
prosedur umum yang sama. Misalkan seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan
seekor anjing untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi lonceng.
Sebelum conditioning, stimulus tanpa pengkondisian (makanan dalam mulut) secara
otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian (mengeluarkan air liur) dari
anjing tersebut. Selama pengkondisian, peneliti membunyikan lonceng dan
kemudian memberikan makanan pada anjing tersebut. Bunyi lonceng tersebut
disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing tersebut
mengeluarkan air liur. Namun, setelah peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi
lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa disertai makanan akhirnya menyebabkan
anjing tersebut mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah belajar
mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi stimulus
dengan pengkondisian, dan keluarnya air liur anjing disebut respons
dengan pengkondisian.
b. Prinsip-prinsip Pengkondisian Klasik Pavlov
Menindaklanjuti temuannya sebelumnya, Pavlov dan koleganya
berhasil mengidentifikasi empat proses: acquisition (akuisisi/fase
dengan pengkondisian), extinction (eliminasi/fase tanpa
pengkondisian), generalization (generalisasi), dan discrimination (diskriminasi).
1) Fase
Akuisisi
Fase akuisisi merupakan fase belajar permulaan dari respons
kondisi, sebagai contoh, anjing ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena
pengkondisian suara lonceng. Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan
conditioning selama fase akuisisi. Faktor yang paling penting adalah urutan dan
waktu stimuli. Conditioning terjadi paling cepat ketika
stimulus kondisi (suara lonceng) mendahului stimulus utama (makanan) dengan
selang waktu setengah detik. Conditioning memerlukan waktu
lebih lama dan respons yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang
lama antara pemberian stimulus kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus
kondisi mengikuti stimulus utama, sebagai contoh, jika anjing menerima makanan
sebelum lonceng berbunyi, conditioning jarang terjadi.
2) Fase
Eliminasi
Sekali telah dipelajari, suatu respons dengan kondisi tidaklah
diperlukan secara permanen. Istilah extinction (eliminasi)
digunakan untuk menjelaskan eliminasi respons kondisi dengan mengulang-ulang
stimulus kondisi tanpa stimulus utama. Jika seekor anjing telah ‘belajar’
mengeluarkan air liur karena adanya suara lonceng, peneliti dapat secara
berangsur-angsur menghilangkan stimulus utama dengan mengulang-ulang bunyi lonceng
tanpa memberikan makanan sesudahnya.
3) Generalisasi
Setelah seekor hewan telah ‘belajar’ respons kondisi dengan satu
stimulus, ada kemungkinan juga ia merespons stimuli yang sama tanpa latihan
lanjutan. Jika seorang anak digigit oleh seekor anjing hitam besar, anak
tersebut bukan hanya takut kepada anjing tersebut, namun juga
takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena ini disebut generalisasi.
Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang kurang
intens. Sebagai contoh, anak tersebut ketakutannya menjadi berkurang terhadap
anjing yang lebih kecil.
4) Diskriminasi
Kebalikan dari generalisasi adalah diskriminasi, yaitu ketika
seorang individu belajar menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus namun
tidak dari stimulus yang sama namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang
anak memperlihatkan respons takut pada anjing galak yang bebas, namun mungkin
memperlihatkan rasa tidak takut ketika seekor anjing galak diikat atau
terkurung dalam kandang.
2. Hukum
Efek dan Teori Koneksionisme Edward Thorndike
Edward Lee Thorndike adalah pakar psikologi yang menjadi dosen di
Columbia University AS. Dalam bukunya Animal Intelligence (1911)
ia menyatakan tidak suka pada pendapat bahwa hewan memecahkan masalah dengan
nalurinya. Ia justru berpendapat bahwa hewan juga memliki kecerdasan. Beberapa
eksperimennya ditujukan untuk mendukung gagasannya tersebut, yang kemudian
ternyata merupakan awal munculnya operant conditioning (pengkondisian
yang disadari). Prinsip yang dikembangkannya disebut hukum efek karena adanya
konsekuensi atau efek dari suatu perilaku. Sementara, teorinya disebut
koneksionisme untuk menunjukkan adanya koneksi (keterkaitan) antara stimuli
tertentu dan perilaku yang disadari.
a. Pecobaan Thorndike
Subjek riset Thorndike termasuk kucing, anjing, ikan, kera, dan
anak ayam. Untuk melihat bagaimana hewan belajar perilaku yang baru, Thorndike
menggunakan ruangan kecil yang ia sebut puzzle box (kotak
teka-teki), dan jika hewan itu melakukan respons yang benar (seperti menarik
tali, mendorong tuas, atau mendaki tangga), pintu akan terbuka dan hewan
tersebut akan diberi hadiah makanan yang diletakkan tepat di luar kotak. Ketika
pertama kali hewan memasuki kotak teka-teki, memerlukan waktu lama untuk dapat memberi
respons yang dibutuhkan agar pintu terbuka. Namun demikian, pada akhirnya hewan
tersebut dapat melakukan respons yang benar dan menerima hadiahnya: lolos dan
makanan. Ketika Thorndike memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara
berulang-ulang, hewan tersebut akan melakukan respons yang benar semakin cepat.
Dalam waktu singkat, hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa
detik untuk lolos dan mendapatkan hadiah.
b. Kesimpulan Thorndike
Thorndike menggunakan 'kurva waktu belajar' tersebut untuk
membuktikan bahwa hewan tersebut bukan menggunakan nalurinya untuk dapat lolos
dan mendapatkan hadiah dari kotak, namun melalui proses trial and error (mencoba-salah-mencoba
lagi sampai benar). Thorndike menjelaskan ada perbedaan yang jelas apakah hewan
dalam eksperimen tersebut agar dapat lolos dari kotak menggunakan naluri atau
tidak. Caranya yaitu dengan mencatat waktu yang digunakan hewan untuk dapat
lolos. Logikanya, jika hewan menggunakan naluri maka ia akan dapat langsung
lolos begitu saja, sehingga catatan waktunya tidak menunjukkan perubahan dari
waktu ke waktu secara gradual (berangsur-angsur; sedikit demi sedikit) yang
signifikan. Kenyataannya, hewan menggunakan cara yang biasa disebut trial and
error dengan bukti kurva waktu yang menurun secara gradual. Hal ini menunjukkan
hewan dapat 'belajar' secara gradual dan konsisten. Didasarkan atas
eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut hukum efek. Hukum
ini menyatakan bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang menyenangkan, lebih
cenderung akan terjadi lagi di masa mendatang. Sebaliknya, perilaku yang
diikuti kejadian yang tidak menyenangkan akan memperlemah, sehingga cenderung
tidak terjadi lagi di masa mendatang. Thorndike menginterpretasikan temuannya
sebagai keterkaitan. Ia menjelaskan bahwa keterkaitan antara kotak dan gerakan
yang digunakan hewan percobaan untuk lolos 'diperkuat' setiap kali berhasil.
Karena adanya keterkaitan ini, banyak yang menyebut hukum efek Thorndike menjadi
teori koneksionisme, yang oleh Skinner dikembangkan lagi menjadi operant
conditioning (pengkondisian yang disadari).
3. Pengkondisian
Disadari B.F. Skinner
Skinner menemukan berbagai prinsip penting dari operant
conditioning, suatu tipe belajar yang melibatkan penguatan dan hukuman.
Sebagai seorang behavioris sejati, Skinner yakin bahwa operant
conditioning dapat menjelaskan bahkan perilaku manusia yang paling
kompleks sekalipun. Pada kenyataannya, Skinner lah memang yang pertama kali
memberi istilah operant conditioning.
a. Percobaan Skinner
Diawali di tahun 1930-an, Skinner menghabiskan waktu beberapa dasa
warsa mempelajari perilaku kebanyakan tikus atau merpati di dalam ruangan kecil
yang kemudian disebut kotak Skinner. Seperti kotak teka-teki Thorndike, kotak
Skinner berupa ruangan kosong tempat hewan dapat memperoleh makanan dengan
melakukan respons sederhana, seperti menekan atau memutar tuas. Sebuah alat
yang diletakkan di dalam kotak merekam semua yang dilakukan hewan tersebut.
Kotak Skinner berbeda dengan kotak teka-teki Thorndike dalam tiga hal: (1)
dalam mengerjakan respons yang diinginkan, hewan tersebut menerima makanan
namun tidak keluar dari kotak; (2) persediaan makanan di dalam kotak hanya
cukup untuk setiap respons, sehingga penguat hanya diberikan untuk satu sesi
tes; dan (3) operant response (respons yang disadari)
membutuhkan upaya yang ringan, sehingga seekor hewan dapat melakukan respons
ratusan bahkan ribuan kali per jamnya. Karena tiga perbedaan ini, Skinner dapat
mengumpulkan lebih banyak data, dan ia dapat mengamati bagaimana perubahan pola
pemberian makanan mempengaruhi kecepatan dan pola perilaku hewan.
b. Penerapan Operant Conditioning
Operant conditioning memiliki manfaat praktis di dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua
dapat memperkuat perilaku anak-anaknya yang sesuai dan memberikan hukuman pada
perilaku yang tidak sesuai, dan mereka dapat menggunakan teknik generalisasi
dan diskriminasi untuk membelajarkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan
situasi-situasi tertentu. Di dalam kelas, guru memperkuat kemampuan akademik
yang bagus dengan sedikit hadiah atau hak-hak tertentu. Pakar psikologi yang
disebut terapis perilaku menggunakan prinsip-prinsip belajar operant
conditioning untuk merawat anak-anak atau orang dewasa yang memiliki
kelainan. pakar psikologiis menggunakan teknik shaping untuk
mengajar keterampilan bekerja pada orang-orang dewasa yang mengalami
keterbelakangan mental. Mereka menggunakan teknik reinforcement untuk
mengajar keterampilan merawat diri sendiri pada orang-orang yang menderita
sakit mental yang parah, dan menggunakan hukuman dan ekstingsi (eliminasi
kondisi) untuk mengurangi perilaku agresif dan antisosial dari orang-orang
tersebut. Pakar psikologi juga menggunakan teknik operant conditioning untuk
merawat kecenderungan bunuh diri, kelainan seksual, permasalahan perkawinan,
kecanduan obat terlarang, perilaku konsumtif, kelainan perilaku dalam makan,
dan masalah lainnya.
Labels:
MATERI UMUM
Thanks for reading Teori Belajar. Please share...!
0 Comment for "Teori Belajar"