BAB I
PENDAHULUAN
Ijtihad (Arab:
iاجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan
suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat
menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Musaha sungguh-sungguh
di sini sangat mendalam tidak hanya usaha berfikir secara sedang sedang saja
atau bahkan biasa saja. Orang-orang yang berfikir sungguh-sungguh tidak
sembarangan orang tetapi mereka yang memang mempunyai tingkatan ilmu yang
tinggi. Maka jika kita orang biasa lalu berfikir dengan sungguh-sungguh maka
belum tentu disebut ijtihad tetapi hanya berfikir secara mendalam. Usaha di
sini mempunyai arti makna yang luas tetapi lebih difokuskan kepada pemikitan
kepada hal-hal yang baik untuk kemaslahatan umum.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut sepemahaman penulis bahwa pitu ijtihad
tertutup dikarenakan pada masa yang lampau terjadi penafsiran al qur’an dan
hadis secara besar-besaran dan sampai-sampai tidak terbendungkan. Dikawatirkan dengan
adanya ijtihad yang berlebihan maka pada abad pertengahan diadakan penutupan
pintu ijtihad. Hanya ada beberapa saja yang boleh melakukan ijtihad. Sebab-sebab
tertutupnya pintu ijtihad dan berkembangnya taqlid. Ada beberapa sebab
tertutupnya pintu ijtihad, sebagai berikut:
Pertama, bahwa masalah-masalah Islam dalam
kaidah metodologis telah disusun secara baku. Di samping itu, fiqh telah
dikupas secara detail oleh para mujtahidin pada periode yang kreatif dari
sejarah Islam. Kenyataan ini membawa para ulama yang datang kemudian tidak
terlalu lagi berkreasi untuk berpikir lebih serius karena segala sesuatu yang
berhubungan dengan ushul dan furu’ telah tersedia dalam karya peninggalan para
imam mujtahidin. Mereka hanya tinggal mengambil dan bila perlu memberi sedikit
komentar atau ulasan saja. Ini dikarenakan sudah banyak referensi-referensi
sepeninggalan imam-imam mujtahidin.
Kedua, melemahnya kepercayaan diri ulama-ulama
yang datang kemudian. Mereka merasa kemampuan mereka begitu tidak berarti, dan
karena itu takut untuk ber-istinbat (melakukan penyimpulan) langsung dari
sumber asli yaitu al-Qur’an dan Hadis. Mereka sudah merasa cukup hanya dengan
menerima apa yang mereka warisi dari imamnya tanpa melakukan kritik lebih jauh.
Sebenarnya sebab pintu ijtihad tertutup tentu jauh lebih kompleks lagi dari apa
yang dikemukakan di atas. Mungkin sama kompleksnya dengan sejarah dan struktur
kebudayaan Islam itu sendiri. Kondisi politik jelas merupakan faktor yang
sangat berpengaruh yang membawa keadaan stagnasi intelektual. Menurut Ibn
Khaldun terdapat hubungan antara laju kreativitas keilmuan dengan kompleksitas
institusi kemasyarakatan dan level kemakmuran suatu masyarakat. Ilmu
pengetahuan merupakan barang mewah yang baru menjadi tuntutan apabila telah
terlebih dahulu kebutuhan ekonomi terpenuhi, dan industri ilmu pengetahuan
dapat dicapai oleh masyarakat yang memiliki tingkat keragaman dan diferensiasi
yang tinggi dalam pranata sosialnya. Hancurnya kemajuan ilmu dan karena itu pudarnya
ijtihad di kota–kota Islam seperti Baghdad, Cordova, Qairawan, dan lain–lain
dikarenakan mundurnya kemakmuran di kota-kota tersebut. Ini merupakan dampak
dari disintegritas politik yang dialami dunia Islam sesudah jaman kejayaannya.
Kekayaan publik tersebut tersedot untuk kepentingan perang yang menghancurkan,
dan rakyat harus memikul beban berat.
Ketiga, dalam literatur ushul fiqh, dapat
dijumpai pembahasan tentang kemampuan akal. Kebanyakan penulis ushul dari
kalangan ortodoks cenderung menerima pendapat bahwa akal tidak berguna dalam
mengetahui yang baik dan buruk, serta tidak ada hukum kecuali yang ditetapkan
Tuhan. Pendapat yang terlalu melemahkan kedudukan akal ini barangkali juga
besar pengaruhnya dalam menutup pintu ijtihad.
Di samping pendapat di atas, ada beberapa
sebab yang sering disebut orang berkenaan dengan tertutupnya pintu ijtihad
antara lain sebagai berikut.
1. Terbagi–baginya negara Islam pada abad
keempat hijriyah ke dalam beberapa kerajaan kecil, serta terjadi percekcokan
para raja dalam merebut kekuasaan. Hal ini telah memaksa mereka mengabaikan
dukungannya kepada gerakan penetapan hukum, dan sejalan dengan hal itu, para
ulama pun sibuk dengan masalah politik.
2. Adanya fanatisme mazhab, hilangnya sikap
percaya diri, serta berbuat “semaunya” atau secara berlebih–lebihan dalam
men-takwil-kan berbagai nash untuk menguatkan mazhab yang dianutnya.
3. Meluasnya berbagai penyakit etis di
kalangan ulama, rasa dengki-mendengki, serta egoistis.
4. Tersebarnya sikap mencari hidup dari fatwa
dan jabatan qadhi, serta tidak hanya kaidah-kaidah yang mereka pegangi.
5. Kekhawatiran para ulama akan lemahnya
penyokong agama, yang bisa jadi membawa kepada runtuhnya bangunan fiqh yang
telah dibina oleh imam yang terdahulu, karena itu mereka berfatwa agar pintu
ijtihad ditutup untuk mencegah ikut-sertanya orang–orang yang tidak ahli dalam
berijtihad atau dalam menggali hukum dari sumbernya.
Sekian artikel yang saya kutip dari jurnal P3M
STAIN Purwokerto Ibda` | Vol. 3 | No. 1 semoga bisa bermanfaat bagi pembaca.
Labels:
MATERI AGAMA
Thanks for reading Makalah Tentang Tertutupnya Pintu Ijtihad. Please share...!
0 Comment for "Makalah Tentang Tertutupnya Pintu Ijtihad"