BLOG PEMBELAJARAN

Kebebasan dan Demokrasi dalam Pendidikan menurut Prof. Dr. Mohd. Athiyah Al Abrasyi

Kali ini saya akan membahas mengenai Demokrasi dalam Pendidikan menurut Athiyah Al Abrasyi. Dalam bukunya diterangkan bahwa metode pendidikan dan pengajaran dalam rangka pendidikan dan demokrasi. Islam telah menyerukan adanya prinsip persamaan dan kesempatan yang sama dalam belajar, oleh karena itu terbentuk adanya;

1.         Terbukalah jalan yang mudah untuk belajar bagi semua orang;
2.         Pintu masjid dan institut-institut terbuka buat semua,
3.         Tanpa perbedaan antara si kaya dan si miskin, tinggi atau rendahnya kedudukan sosial seorang siswa, oleh karena itu dalam Islam tidak ada kelebihan orang Arab dan yang bukan Arab, kecuali dengan ketakwaannya.
4.         Pelajaran-pelajaran di dalam Islam itu adalah gratis, siswa tidak terkait pada batas umur tertentu, ijazah-ijazah atau nilai-nilai angka dalam ujian ataupun peraturan-peraturan khusus buat penerimaan siswa.
5.         Bila seseorang memiliki keinginan untuk belajar dan rasa cinta ilmu, kegariahan untuk mengadakan penelitian dan pembahasan, pintu untuk belajar terbuka luas baginya, bahkan Islam mendorong supaya mereka belajar, apalagi bila seseorang itu berpembawaan cerdas.
Pada penjelasan tersebut bahwa dasar dalam mencari ilmu tidak didasarkan pada bukti kearsipan seperti dokumen ijazah dan nilai-nilai yang selama ini masih dominan. Namun benar-benar sebuah proses untuk mencari keridhaan Allah s.w.t., dengan melalui belajar.
Belajar adalah suatu kewajiban agama yang diwajibkan oleh Islam atas setiap muslim laki-laki dan wanita. Oleh karena ini kaum hartawan dengan semangat mendirikan tempat-tempat belajar seperti masjid, institut, sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, pondok pesantren, serta memperlengkapinya dengan buku-buku dan peralatan-peralatan yang dibutuhkan, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah s.w.t., sehingga tempat-tempat pelajaran itu dapat memenuhi fungsinya seperti diharapkan, tersebarnya ilmu secara luas dan bersihnya jiwa manusia dari kotoran serta berpegangnya orang-orang terpelajar kepada budi-akhlak yang mulia. Dalam kompetisi terhormat antara kaum hartawan Muslim dahulu dalam mendirikan institut-institut Islamiyah imi, kita dapat merasakan betapa mereka merasa bertanggung jawab terhadap penyebaran ilmu dan pengetahuan di kalangan kaum Muslimin.
Selain dari segi siswanya yang bersemangat juga didorong dengan adanya sarana dan prasarananya yang mendukung. Juga para pendiri lembaga pendidikan yang memiliki semangat untuk mendirikan lembaga pendidikan guna untuk memajukan pendidikan pada masa itu.
Usaha dalam penyebarab ilmu pengetahuan itu bukan saja menjadi beban Negara, tetapi kaum hartawan waktu itu dulu bukan di masa kita sekarang ini mendirikan dengan kemauan sendiri ruangan-ruangan untuk belajar, mereka berkorban sesuai dengan kesanggupan masing-masing dengan arti mereka tidak menyerahkan saja beban itu semuanya kepada Negara tetapi sebaliknya mereka bekerja sama dengan Negara dalam rangka mencapai keredahaan Allah. Negara dalam hal ini membutuhkan perencanaan, memberi petunjuk, pengarahan dan membantu pendirian gedung-gedung sekolah dan memperlengkapinya dengan alat-alat telescope dan laboratorium pembantu sesuai dengan kebesaran, kemegahan dan kekuatan kerajaan Islam pada waktu itu. Pendidikan pada waktu itu tidak terkait kepada peraturan-peraturan keras, ijazah-ijazah, pembayaran-pembayaran atau syarat yang bersifat penjajahan supaya tidak menjadi penghalang bagi orang-orang, pemuda dan pemudi, buat menuntut ilmu pengetahuan. Dengan demikian pintu pendidikan terbuka seluas-luasnya bagi setiap orang yang berkeinginan untuk belajar agama dan lain-lain kapan saja dan di mana saja. Inilah dia demokrasi yang hakiki di dalam pendidikan dan pengajaran.
Dari sisi lain anatara pendiri lembaga pendidikan dan Negara yang di tempatinya saling bekerja sama dalam memajukan kualitas pendidikan. Tidak saling bertolak belakang dalam membangun pendidikan pada saat itu maka dari prinsip inilah pendidikan bisa maju dengan pesat.
Dalam institut-institut Islam, pelajaran diberikan secara gratis, makanan gratis begitu pula tempat tinggal dan ini berlaku buat semua tingkat pendidikan. Ini merupakan suatu manifestasi dari demokrasi dalam Islam dan jiwa demokrasi Islam yang telah menyebar di dalam bidang pendidikan ini, dan sampai hari ini belum kita dapati di Negara-negara terkaya sekali pun, baik di Eropa maupun di Amerika. Dalam pendidikan Islam, orang-orang yang kurang mampu tidak terpaksa bersusah-susah berusaha mencari kegratisan di setiap tingkat pendidikan dan tidak pula harus bekerja di musim panas atau pun di musim dingin demi untuk mengumpulkan biaya belajar di tingkat rendah maupun Universitas. Di masa kejayaan Kerajaan Islam Raya, seseorang yang fakir dan tidak mampu itu bebas dari halangan-halangan untuk dapat belajar di institut manapun bahkan lebih dari itu kepada yang kurang mampu diberikan kesempatan luas buat belajar apa yang ia ingini tanpa halangan apapun juga, diberikan pula segala peralatan untuk memunginkan mereka belajar dengan gratis, diberi tempat tinggal di asrama-asrama, mendapat makanan yang sehat, bantuan-bantuan berupa uang dan dibolehkan pula menggunakan buku-buku di perpustakaan-perpustakaan buat belajar dan referensi.
Selain fasilitas yang memadai juga ada fasilitas bagi siswa yang kurang mampu untuk belajar dengan tanpa ada pungutan biaya. Serta disediakan asrama dari pihak lembaga pendidikan.
Islam ternyata telah menyama-ratakan anak-anak si kaya dan si miskin dalam bidang pendidikan dan memberikan kesempatan sama kepada semua untuk belajar tanpa diskriminasi. Tidak seorang pun dari kaum muslimin yang mengatakan bahwa orang-orang miskin diciptakan untuk bekerja di kebun, di ladang dan di pabrik-pabrik sedang si kaya dijadikan untuk memerintah dan menguasai mereka itu dengan harta dan kekayaannya. Tidak seorang pun dari kaum Muslimin yang mengatakan bahwa kepintaran itu hanya milik orang-orang kaya dan orang-orang kaya itu diciptakan untuk memerintah, sedang orang miskin itu adalah bodoh-bodoh dan dijadikan untuk diperintah. Kepintaran dan kecerdasan adalah hibah dari Allah s.w.t. yang diberikan kepada suatu kelas masyarakat. Islam telah menyama-ratakan si kaya dan si miskin dalam hak belajar, memberikan kesempatan yang sesuai dengan mereka ini untuk mendapat ilmu dan pengetahuan.
Anatara siswa yang miskin dan kaya pada zaman ini memang tidak ada bedanya. Bahkan tidak dalam proses pembelajaran memiliki kesempatan yang sama. Sehingga dalam pembelajaran bisa saling berkompetisi secara seimbang.
Isalm tidak mengatakan kepada si miskin, kaum dijadikan untuk menduduki tempat-tempat yang rendah sedang orang-orang kaya dijadikan untuk mensusuki tempat-tempat yang tinggi. Insan ini semua adalah sama ibarat gigi sisir, tidak ada kelebihan orang Arab dari orang-orang yang bukan Arab kecuali dengan ketaqwaannya. Inilah yang dimaksud dengan demokrasi, keadailan dan persamaan di dalam Islam.
institut-institut tidak membuat peraturan-peraturan tertentu dalam penerimaan mahasiswa dan tidak disyaratkan bagi setiap mahasiswa kecuali satu, yaitu keinginan untuk belajar, bersedia untuk itu dan haus kepada ilmu pengetahuan. Tidak satu pun pintu tertutup bagi para siswa untuk belajar di institut-institut atau kelompok-kelompok di masjid, di mana para guru, dosen dan ulama-ulama menyediakan hidup mereka untuk ilmu dan pengajaran, tanpa mengharapkan upah dan gaji, tetapi bekerja semata-mata mencari keridhaan Allah s.w.t., dan untuk kepentingan hidup sehari hari mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan tangan sampingan bila ada waktu terluang.
Tidaklah mengherankan pada waktu itu pintu untuk berbuat proses pembelajaran masih terbuka untuk semua, buku-buku masih tersedia dengan lengkap, hidup pun terjamin, tidak ada satu pun yang menjadi penghalang untuk belajar bagi anak-anak. Oleh karena itulah dari golongan saat itu muncullah ahli-ahli terutama dalam bidang agama yang sangat terkenal sampai saat ini.
Kesimpulannya, di dalam pendidikan Islam terwujud prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan, persamaan dan kesempatan yang sama untuk belajar, tanpa ada diskriminasi antara si kaya dan si miskin. Kaum muslimin beranggapan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban agama, kewajiban rohaniah, bikanlah suatu jalan untuk keuntungan-keuntungan materi dan kebendaan, di mana siswa belajar dengan sepenuh hati dan didorong dengan kemauan keras dari  pihak mereka sendiri. Banyak terdapat siswa muslim itu yang melakukan pengembaraan dan perantauan yang cukup jauh dan berat demi untuk meneliti sesuatu masalah ilmiah atau masalah agama.
Sekian artikel pada kesempatan kali ini semoga bisa bermanfaat.
Sumber : Prof. Dr. Mohd. Athiyah Al Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 5-10
Labels: MATERI UMUM, TOKOH

Thanks for reading Kebebasan dan Demokrasi dalam Pendidikan menurut Prof. Dr. Mohd. Athiyah Al Abrasyi. Please share...!

0 Comment for "Kebebasan dan Demokrasi dalam Pendidikan menurut Prof. Dr. Mohd. Athiyah Al Abrasyi"

Back To Top